Selamat Datang

Selamat Datang di BLOG MWC NU Kesugihan Cilacap

Selasa, 19 Februari 2013

Sastra Pesantren, Sastra Dakwah


Sastra pesantren adalah istilah baru yang mungkin dimaksudkan untuk menyebut karya sastra yang hidup dan diciptakan kalangan pesantren, atau karya sastra yang bermuatan misi dakwah.

Apabila pembatasan ini benar, maka sastra pesantren sesungguhnya sudah hadir sejak masuknya Islam di Indonesia sekitar abad ke-12, sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia.

Islam yang masuk ke Indonesia sudah bernuansa sufistik dan disebarkan melalui cara akulturasi. Para penyebar Islam memanfaatkan sastra sebagai media untuk menyampaikan pengajaran tentang sejarah, hukum, serta tasawuf. Bentuk-bentuk sastra yang lazim mereka manfaatkan adalah pantun, syair, gurindam, prosa, dan prosa lirik. Raja Ali Haji terkenal dengan Gurindam Duabelasnya yang bermuatan pengajaran adabnya. 

Di daerah lain seperti Minangkabau, Sunda, Jawa, Makassar, dan sebagainya, para pelopor Islam juga menggunakan media sastra setempat untuk tujuan dakwah. Sastra tutur kaba’ di Minangkabau dimanfaatkan untuk dakwah selain pantun dan syair. Di Sunda, hal yang sama bahkan terjadi lebih intensif. Sastra tembang yang berisi pengajaran agama, dan tembang Cianjuran sampai tembag anak-anak di surau dan pesantren berkembang dengan sangat subur pada zamannya. 

Sunan Bonang menggunakan bentuk-bentuk tembang Jawa untuk menyebar dakwah, terutama tasawuf. “Suluk Wuragul” yang ditulisnya dalam bentuk tembang dhangdhanggula berisi pemikiran teologis faham Jabariyah dan Qadariyah.

Dalam khazanah sastra tembang Jawa ada sebuah pupuh dhangdhanggula yang sangat terkenal:

Ana kidung rumeksa ing wengi
Teguh ayu luputa ing lara
Luputa bilahi kabeh 
Jin setan datan purun
Paneluhan datan ana wani
Miwah penggawe ala
Gunaning wong luput 
Geni atemahan tirta
Maling adoh tan ana ngarah mring mami
Guna duduk pan sirna

Artinya: ada sebuah kidung (nyanyian mantra) penjaga sang malam. Berjaga agar semua selamat. Dijauhkan dari sakit. Menjauhlah segala bahaya. Jin dan setan tak bisa mengganggu. Teluh tak berani. Juga perbuatan jahat ulah orang yang sesat, padam seperti api tersiram air. Pencuri jauh. Guna-guna dan penyakit akan sirna.

Para pecinta sastra tembang sulit menentukan siapakah pencipta dhangdhanggula ini. Namun mereka percaya dia adalah salah seorang dari wali sembilan. Dan yang dimaksud dengann kidung dalam tembang tersebut adalah ayat kursyi yang dipercaya secara magis mampu menolak segala macam bahaya. 

Pada saat itu, kehidupan sastra pesantren baik yang salaf maupun modern, bisa dikatakan berhenti. Di pesantren salaf, kitab kuning yang banyak diantaranya punya nilai sastra, memang tetap menjadi sumber keilmuan yang utama. Namun produk sastra baru, yang biasanya berupa sayair puji-pujian atau singiran boleh dibilang tidak lagi dihasilkan. Di Banyumas, Kiai Amin dari Karang Lewas masih setia menulis syair dalam dialek lokal, kebanyakan berisi ajaran etika. Namun kiai yang sering mandiri sangat sulit memasyarakatkan karyanya. Tak ada penerbit yang mau menerbitkan karya sastranya, tak ada pula guru yang mau mengajarkan karya itu kepada para santri.

Apabila kehidupan sastra dalam batas tembok pesantren bisa dikatakan redup, tidaklah berarti sastra pesantren juga tidak berkembang di luarnya. Dalam hal ini agaknya telah terjadi semacam metamorfosis dari sastra pesantren lama yang biasanya berciri tradisional ke bentuk sastra modern dengan segala ciri modernitasnya.

Kemunculan penyair Abdul hadi WM dengan puisi profetiknya atau Danarto dengan cerpen-cerpen sufistiknya, bisa dikatakan gejala metamorfosis tadi. Dengan gejala ini, menjadi lebih menarik dengan munculnya orang-orang asli pesantren seperti KH Mustofa Bisri Rembang, KH D. Zawawi Imron Batang-batang, KH Acep Zamzam Noor Cipaasung sebagai raksasa penyair modern tingkat nasional. Kemunculan tiga tokoh tadi, yang kemudian diikuti oleh puluhan penyair lain, membuat warna baru dalam khazanah sastra Indonesia sekaligus mengaburkan batas antara sastra pesantren dan sastra nonpesantren. Dengan kata lain, rasanya tidak obyektif menganggap sastra pesantren sebagai bentuk ekslusif santri, karena kenyataannya sastra pesantren sejak dulu hingga kin merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sastra Indonesia.   

Metamorfosis sastra pesantren juga menjadikan genre sastra ini punya masa depan luas karena tidak lagi terikat oleh ketentuan-ketentuan bentuk seperti pantun dan syair. Puisi-puisi karya Abdul hadi WM, KH Mustofa Bisri, KH D. Zawawi Imron adalah puisi modern yang bebas bentuk. Puisi modern yang lebih mengutamakan kedalaman atau intensitas kreatif daripada keharusan memenuhi ketentuan bentuk tertentu. Maka pusi modern lebih punya masa depan dan relevan dengan selera zaman. 

Dari kualitas maupun kuantitas, pesimisme sungguh tak perlu terjadi ketika kita mengamati perkembangan puisi pesantren. Namun lain halnya bila kita bicara soal prosanya, khususnya novel. Diakui bahwa secara umum terasa ada krisis dalam dunia pernovelan Indonesia. Krisis yang dimaksud adalah sedikitnya lahir novel-novel yang bermutu sastra. Dan lebih sedikit novel yang bersemangat pesantren, yakni novel-novel yang menjadikan tauhid sebagai basis kreativitas. 

Sementara orang mengatakan, sastra bentuk novel memang akan sulit lahir dari kalangan pesantren (baca: ortodoksi muslim), setidaknya karena satu hal, yakni masih adanya anggapan bahwa membuat karakter (pelaku) fiksi dihukum haram karena dianggap sama dengan membuat patung. Kenyataannya memang demikian, tidaklah banyak lahir novelis atau cerpenis dari kalangan ortodoksi, baik ortodoksi modern maupun ortodoksi tradisional. Novelis atau cerpenis Islam kebanyakan muncul dari kalangan “abangan”.   


AHMAD TOHARI, sastrawan, tinggal di Banyumas.

0 komentar:

Posting Komentar